1
Desember
Ada apa sebenarnya dengan 1 Desember yang
membuat “Kota Emas” selalu membara? Siapa sebenarnya yang berkepentingan dengan
1 Desember di Tanah Papua saat ini? Apakah orang asli Papua? Pendatang? OPM
sebagai gerakan rakyat semesta yang memperjuangkan Hak untuk Merdeka bagi orang
Papua? TNI/POLRI yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam mengendalikan
dan mengelola “keamanan” di Tanah Papua? Mungkinkah ada pihak yang yang tidak
terbayangkan sebagai player dalam
menggunakan 1 Desember untuk meraup keuntungan finansiil dari seluruh operasi
pengamanannya?
Bukankah “Operasi Keamanan di bulan
Desember seharusnya lebih diutamakan untuk membantu lebih hikmahnya peringatan
Natal di Tanah Papua yang “mayoritas” penduduknya beragama Nasrani? Mengapakah
selalu setiap tahun, ketika bulan-bulan dalam tahun mulai berbunyi “…ber-…ber
(September, Oktober, November dan Desember),” eskalasi keamanan dan politik di
Tanah Papua selalu cenderung meningkat, bahkan cenderung disuburkan oleh
berbagai pihak? Ada apa gerangan?
Memang, ‘1 Desember’ selalu sejak 1
Desember 1961 dikenang sebagai hari bersejarah bagi orang Papua karena pada
saat itu untuk pertama kalinya NGR (Nieuw Guinea Raad), semacam konggres dan
senatnya bangsa Papua yang pada saat itu masuk dalam skema pembangunan 10 tahun
pemerintah Belanda untuk merdeka atau berdiri sendiri, mengeluarkan Bendera
Bintang Kejora untuk dikibarkan sebagai Bendera Negara Nederlands Nieuw Guinea
(baca: West Papua), telah membuat orang Papua bersikuku bahwa Papua Barat telah
“merdeka” sejak saat itu (baca: 1 Desember 1961).
Sedangkan, dalam ‘Skema Pembangunan 10
Tahun (1961-1971) bagi NNG’, saat itu hanyalah merupakan awal pembangunan
‘Negara Papua Barat’ oleh Kerajaan Belanda yang dalam kaca matanya akan
memberikan kemerdekaan penuh kepada Papua Barat pada 1 Desember 1971 (jika
tidak ada gonjang-ganjing politik dengan Indonesia yang berarti). Dalam
pandangan Kerajaan Belanda saat itu, pembangunan di berbagai sector riil lebih
menjadi prioritas, termasuk pengembangan pemerintahan, keamanan dan pertahanan
(ingat: pembentukan Korps Pemuda Papua atau PVK,
dll.) pertanian, perkebunan, kesehatan (dengan pembangun Rumah Sakit Dok II,
yang pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an merupakan salah satu rumah sakit
berperalatan terbaik di Pacific), pendidikan (dengan begitu banyaknya pemudi
dan pemuda Papua berbrestasi yang dikirim ke berbagai tempat di luar negeri
untuk menempuh pendidikan tinggi untuk kemudian kembali dan membangun Papua), teknologi, perumahan (Dok II, IV, V, VI, VII,
VIII dan Dok IX sebagai misal untuk pemukiman penduduk), dll.
Namun apa yang terjadi? ‘Skema’ tersebut
menjadi kacau setelah Tanah Papua terjual oleh berbagai kepentingan dalam masa
‘Cold War’. Amerika, Belanda dan
Indonesia berunding soal Tanah Papua dan politisi Papua saat itu yang ada dalam
Nieuw Guinea Raad tidak satupun
dilibatkan dalam berbagai perundingan yang membicarakan nasib manusia Papua dan
“Tanah” miliknya. Itulah sebabnya orang Papua merasa digadaikan oleh
bangsa-bangsa lain, tanpa didengar esensi jiwanya dan Kerajaan Belanda dianggap
sebagai ‘Pengecut’ yang tidak bisa memperjuangkan dan menyelesaikan ‘skema’
yang sudah dimulainya. Bangsa Papua merasa dikhianati oleh bangsa Belanda,
bahkan hingga saat ini.
Sementara itu, Indonesia yang sejak awal
1960-an sudah mulai melakukan invasi militer lewat proyek ‘TRIKORA’nya, yang
kemudian semakin menjadi kokoh secara administrasi mana kala PBB menyerahkan
penyelenggaraan pemerintahaan sementara waktu di Tanah Papua dari UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority)
kepada Pemerintah Indonesia pada Mei 1963. Di situlah, babak baru Kekerasan
Negara dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan di seluruh Tanah Papua semakin
merebak dalam intensitas yg tak terhitung. Ratusan ribu orang diperkirakan
telah menjadi korban selama 1963-1969.
Bahkan ketika ‘Tindakan Pemilihan Bebas’ (yang lebih dikenal dengan nama
“PEPERA” diselenggarakan sejak akhir quarter kedua dari tahun 1969, terlalu
banyak cerita sedih yang tak sanggup diceritakan oleh saksi dan/atau saksi
korban kepada anak cucunya untuk didengar karena sadisnya tindakan-tindakan
yang merendahkan kemanusiaan (inhumane
degraded treatments) dan dignity.
Singkat cerita, Papua Barat tergadaikan dalam PEPERA 1969 dan terus terpuruk
sebagai manusia.
Sejak saat itu, esensi dari hak asasi
manusia (right to self-determination)
yang digaunkan dengan nyaring di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seakan tidak
berlaku bagi bangsa Papua Barat. Berbagai cerita kasus pelanggaran hak asai
manusia di seluruh Tanah Papua yang disampaikan kepada pemerintahan dunia,
nyaris tidak digubris dan didengar. Pemerintahaan Dunia seakan melupakan alasan
mereka mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Pembangunan Keuangan Yang Maha
Kuasa” setiap Pemimpin Negara menjadi prioritas utama di atas ‘essence of rights (baca:
self-determination).’
Sekarang, apakah Kerajaan Belanda berani
menebus kesalahan mereka di masa itu ataukah akan terus menjadi ‘pengecut’?
Apakah bangsa-bangsa dan pemimpin mereka akan menebus kelalaian mereka di masa
“PEPERA 1969” dulu dengan memfasilitasi sesuatu yang jauh lebih fair & just?
Jika, hari ini, 1 Desember 2012, yang
hendak diperingatan rakyat Papua dengan ibadah syukur mengingat masa di atas
dan ditanggapi berlebihan oleh TNI/POLRI dengan kekerasan yang berujung pada
pelanggaran HAM Berat, siapakah yang akan bertanggung jawab? Indonesia?
Kerajaan Belanda? Amerika Serikat atau Perserikatan Bangsa-Bangsa? Bagaimana
mempertanggung jawabkannya? Mungkin, kah rakyat Papua Barat dilihat dan
dhormati oleh bangsa-bangsa sebagai Manusia yang memiliki harkat dan martabat?
Berbicaralah
untuk Kebenaran dan Keadilan karena nilai mereka jauh melebih Emas dan Perak
yang dapat dibeli orang terkaya di dunia sekalipun!
No comments:
Post a Comment