Saturday, December 1, 2012


1 Desember

Ada apa sebenarnya dengan 1 Desember yang membuat “Kota Emas” selalu membara? Siapa sebenarnya yang berkepentingan dengan 1 Desember di Tanah Papua saat ini? Apakah orang asli Papua? Pendatang? OPM sebagai gerakan rakyat semesta yang memperjuangkan Hak untuk Merdeka bagi orang Papua? TNI/POLRI yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam mengendalikan dan mengelola “keamanan” di Tanah Papua? Mungkinkah ada pihak yang yang tidak terbayangkan sebagai player dalam menggunakan 1 Desember untuk meraup keuntungan finansiil dari seluruh operasi pengamanannya?

Bukankah “Operasi Keamanan di bulan Desember seharusnya lebih diutamakan untuk membantu lebih hikmahnya peringatan Natal di Tanah Papua yang “mayoritas” penduduknya beragama Nasrani? Mengapakah selalu setiap tahun, ketika bulan-bulan dalam tahun mulai berbunyi “…ber-…ber (September, Oktober, November dan Desember),” eskalasi keamanan dan politik di Tanah Papua selalu cenderung meningkat, bahkan cenderung disuburkan oleh berbagai pihak? Ada apa gerangan?


Memang, ‘1 Desember’ selalu sejak 1 Desember 1961 dikenang sebagai hari bersejarah bagi orang Papua karena pada saat itu untuk pertama kalinya NGR (Nieuw Guinea Raad), semacam konggres dan senatnya bangsa Papua yang pada saat itu masuk dalam skema pembangunan 10 tahun pemerintah Belanda untuk merdeka atau berdiri sendiri, mengeluarkan Bendera Bintang Kejora untuk dikibarkan sebagai Bendera Negara Nederlands Nieuw Guinea (baca: West Papua), telah membuat orang Papua bersikuku bahwa Papua Barat telah “merdeka” sejak saat itu (baca: 1 Desember 1961).

Sedangkan, dalam ‘Skema Pembangunan 10 Tahun (1961-1971) bagi NNG’, saat itu hanyalah merupakan awal pembangunan ‘Negara Papua Barat’ oleh Kerajaan Belanda yang dalam kaca matanya akan memberikan kemerdekaan penuh kepada Papua Barat pada 1 Desember 1971 (jika tidak ada gonjang-ganjing politik dengan Indonesia yang berarti). Dalam pandangan Kerajaan Belanda saat itu, pembangunan di berbagai sector riil lebih menjadi prioritas, termasuk pengembangan pemerintahan, keamanan dan pertahanan (ingat: pembentukan Korps Pemuda Papua atau PVK, dll.) pertanian, perkebunan, kesehatan (dengan pembangun Rumah Sakit Dok II, yang pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an merupakan salah satu rumah sakit berperalatan terbaik di Pacific), pendidikan (dengan begitu banyaknya pemudi dan pemuda Papua berbrestasi yang dikirim ke berbagai tempat di luar negeri untuk menempuh pendidikan tinggi untuk kemudian kembali dan membangun Papua),  teknologi, perumahan (Dok II, IV, V, VI, VII, VIII dan Dok IX sebagai misal untuk pemukiman penduduk), dll.

Namun apa yang terjadi? ‘Skema’ tersebut menjadi kacau setelah Tanah Papua terjual oleh berbagai kepentingan dalam masa ‘Cold War’. Amerika, Belanda dan Indonesia berunding soal Tanah Papua dan politisi Papua saat itu yang ada dalam Nieuw Guinea Raad tidak satupun dilibatkan dalam berbagai perundingan yang membicarakan nasib manusia Papua dan “Tanah” miliknya. Itulah sebabnya orang Papua merasa digadaikan oleh bangsa-bangsa lain, tanpa didengar esensi jiwanya dan Kerajaan Belanda dianggap sebagai ‘Pengecut’ yang tidak bisa memperjuangkan dan menyelesaikan ‘skema’ yang sudah dimulainya. Bangsa Papua merasa dikhianati oleh bangsa Belanda, bahkan hingga saat ini.

Sementara itu, Indonesia yang sejak awal 1960-an sudah mulai melakukan invasi militer lewat proyek ‘TRIKORA’nya, yang kemudian semakin menjadi kokoh secara administrasi mana kala PBB menyerahkan penyelenggaraan pemerintahaan sementara waktu di Tanah Papua dari UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) kepada Pemerintah Indonesia pada Mei 1963. Di situlah, babak baru Kekerasan Negara dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan di seluruh Tanah Papua semakin merebak dalam intensitas yg tak terhitung. Ratusan ribu orang diperkirakan telah menjadi korban selama 1963-1969.  Bahkan ketika ‘Tindakan Pemilihan Bebas’ (yang lebih dikenal dengan nama “PEPERA” diselenggarakan sejak akhir quarter kedua dari tahun 1969, terlalu banyak cerita sedih yang tak sanggup diceritakan oleh saksi dan/atau saksi korban kepada anak cucunya untuk didengar karena sadisnya tindakan-tindakan yang merendahkan kemanusiaan (inhumane degraded treatments) dan dignity. Singkat cerita, Papua Barat tergadaikan dalam PEPERA 1969 dan terus terpuruk sebagai manusia.

Sejak saat itu, esensi dari hak asasi manusia (right to self-determination) yang digaunkan dengan nyaring di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seakan tidak berlaku bagi bangsa Papua Barat. Berbagai cerita kasus pelanggaran hak asai manusia di seluruh Tanah Papua yang disampaikan kepada pemerintahan dunia, nyaris tidak digubris dan didengar. Pemerintahaan Dunia seakan melupakan alasan mereka mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Pembangunan Keuangan Yang Maha Kuasa” setiap Pemimpin Negara menjadi prioritas utama di atas ‘essence of rights (baca: self-determination).’

Sekarang, apakah Kerajaan Belanda berani menebus kesalahan mereka di masa itu ataukah akan terus menjadi ‘pengecut’? Apakah bangsa-bangsa dan pemimpin mereka akan menebus kelalaian mereka di masa “PEPERA 1969” dulu dengan memfasilitasi sesuatu yang jauh lebih fair & just?

Jika, hari ini, 1 Desember 2012, yang hendak diperingatan rakyat Papua dengan ibadah syukur mengingat masa di atas dan ditanggapi berlebihan oleh TNI/POLRI dengan kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM Berat, siapakah yang akan bertanggung jawab? Indonesia? Kerajaan Belanda? Amerika Serikat atau Perserikatan Bangsa-Bangsa? Bagaimana mempertanggung jawabkannya? Mungkin, kah rakyat Papua Barat dilihat dan dhormati oleh bangsa-bangsa sebagai Manusia yang memiliki harkat dan martabat?

Berbicaralah untuk Kebenaran dan Keadilan karena nilai mereka jauh melebih Emas dan Perak yang dapat dibeli orang terkaya di dunia sekalipun!

No comments:

Post a Comment